Jumat, 03 April 2009

Bahasa Arab Untuk Anak-Anak

Segala Puji bagi Allah ta’ala yang telah menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa arab. Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Al-Qur’an adalah mukjizat paling agung yang menunjukkan akan benarnya risalah yang dibawa Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bahkan kalangan jin pun sampai kagum dengan keindahan bahasa Al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman dalam surat al-Jinn,

قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا . يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَلَنْ نُشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا

“Katakanlah (hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Quran), lalu mereka berkata: Sesungguhnya Kami telah mendengarkan Al Quran yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kapada jalan yang benar, lalu Kami beriman kepadanya. dan Kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseorangpun dengan Tuhan Kami.”. (Al-Jin [72]: 1-2)

Tak seorang pun yang mampu mendatangkan satu ayat pun yang semisal Al-Qur’an, Allah ta’ala berfirman,

قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الإنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا

“Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”.” (QS. Al-Israa [17]: 88)

Allah ta’ala telah menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa arab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan wahyu, membimbing para sahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in dengan bahasa arab, begitupula generasi terbaik umat ini, mereka juga saling berkomunikasi dengan bahasa arab. Maka tidak mungkin bagi kita untuk bisa memahami dengan baik dua wahyu Allah (Al Qur’an dan As Sunnah), sesuai dengan pemahaman yang benar dari para sahabat dan ulama-ulama yang berpegang teguh dengan tuntunan mereka kecuali dengan mempelajari bahasa arab.

Mempelajari bahasa arab adalah perkara yang amat penting. Sungguh sangat menyedihkan bahwa kebanyakan kaum muslimin berpaling dari mempelajari bahasa arab. Kebanyakan kaum muslimin sekarang lebih berbangga apabila bisa berbicara dengan bahasa asing, dengan bahasa inggris, jerman dan seterusnya, bahkan putra-putri mereka pun dididik dengan bahasa asing supaya tidak ketinggalan zaman, dan yang paling menyedihkannya adalah mereka sama sekali tidak berupaya agar putra-putri mereka mempelajari bahasa arab. Laa haula walaa quwwata illa billah

Kalau keadaan kaum muslimin seperti ini, bagaimana akan tercetak generasi Islam yang cinta Allah dan Rasul-Nya? Bisa dibayangkan bila ini berlangsung terus akan menyebabkan mereka terombang ambing dalam gelombang syubhat dan syahwat. Bagaimana mungkin mereka akan mampu membela Islam dengan benar kalau aqidahnya rapuh, kalau mereka sendiri tidak di didik diatas tuntunan islam, di atas tuntunan Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Untuk para orang tua:

  • Perhatikanlah pendidikan anak-anakmu. Janganlah kau terlantarkan pendidikan mereka, pendidikan yang paling penting bagi mereka adalah pengajaran aqidah yang benar, tanamkan aqidah tersebut pada benak mereka.
  • Ajarkan mereka Al-Qur’an sejak dini. Bangkitkan kecintaan mereka terhadap Al-Qur’an.
  • Ajarkanlah mereka hadits-hadits dari Rasulullah, biasakan mereka untuk mendengar hadits-hadits tersebut.
  • Perkenalkan putra-putri anda bahasa arab. Karena itu merupakan bahasa Al-Qur’an. Ajarkan sejak dini, sejak anak bisa berbicara maka latihlah dia untuk belajar bahasa arab.
  • Karena mengajar anak di waktu kecil bagaikan mengukir diatas batu. Sedikit demi sedikit. Ketika anak sudah paham nama-nama benda, ajarkan bahasa arabnya.

Misalnya ketika anak melihat ke langit maka kita ajarkan bahwa langit bahasa arabnya adalah “samaa’un”, kalau anak melihat buku maka kita ajarkan bahwa bahasa arabnya buku adalah “kitaabun”, kalau anak sedang memperhatikan tangannya, kita ajarkan bahwa bahasa arab tangan adalah “yadun” dan seterusnya. Dengan diperkenalkan dan melihat langsung wujud aslinya akan sangat membantu anak cepat hafal yang diajarkan.

Maka, marilah kita perkenalkan bahasa Arab sejak dini kepada anak-anak kita. Semoga kelak mereka menjadi anak yang bertakwa, cinta Al-Quran, cinta al-Hadits, menjadi salah satu penegak panji islam dan menjadi penduduk surga-Nya Allah ta’ala kelak, aamiin.

http://badar.muslim.or.id/

Rabu, 01 April 2009

Kiat Memperlakukan Buah Hati

Pahami anak sebagai individu yang berbeda. Seorang anak dengan yang lainnya memiliki karakter yang berbeda. Memiliki bakat dan minat yang berbeda pula. Karenanya, dalam menyerap ilmu dan mengamalkannya berbeda satu dengan yang lainnya. Sering terjadi kasus, terutama pada pasangan muda, orangtua mengalami “sindroma” anak pertama. Karena didorong idealisme yang tinggi, mereka memperlakukan anak tanpa memerhatikan aspek-aspek perkembangan dan pertumbuhan anak. Misal, anak dipompa untuk bisa menulis dan membaca pada usia 2 tahun, tanpa memerhatikan tingkat kemampuan dan motorik halus (kemampuan mengoordinasikan gerakan tangan) anak.

فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (At-Taghabun: 16)

Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Apabila aku melarangmu dari sesuatu maka jauhi dia. Bila aku perintahkan kamu suatu perkara maka tunaikanlah semampumu.” (HR. Al-Bukhari, no. 7288)

Kata مَا اسْتَطَعْتُمْ (semampumu) menunjukkan kemampuan dan kesanggupan seseorang berbeda-beda, bertingkat-tingkat, satu dengan lainnya tidak bisa disamakan. Ini semua karena pengaruh berbagai macam latar belakang.

  • - Memberi tugas hendaklah sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak.

لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)

  • - Berusahalah untuk selalu menghargai niat, usaha dan kesungguhan anak. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa dan harta kalian, tapi Allah melihat kepada hati (niat) dan amal-amal kalian.” (HR. Muslim no. 2564)

Jangan mencaci maki anak karena kegagalannya. Tapi berikan ungkapan-ungkapan yang bisa memotivasi anak untuk bangkit dari kegagalannya. Misal, “Abi tidak marah kok, Ahmad belum hafal surat Yasin. Abi tahu, Ahmad sudah berusaha menghafal. Lain kali, kita coba lagi ya.”

  • - Tidak membentak, memaki dan merendahkan anak. Apalagi di hadapan teman-temannya atau di hadapan umum. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا

“Dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (An-Nisa`: 5)

  • - Tidak membuka aib (kekurangan, kejelekan) yang ada pada anak di hadapan orang lain. Dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa menutup (aib) seorang muslim, Allah akan menutup (aib) dirinya pada hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari no. 2442)

  • - Jika anak melakukan kesalahan, jangan hanya menunjukkan kesalahannya semata. Tapi berilah solusi dengan memberitahu perbuatan yang benar yang seharusnya dia lakukan. Tentunya, dengan cara yang hikmah. ‘Umar bin Abi Salamah radhiyallahu ‘anhu berkata:

كُنْتُ غُلَامًا فِي حِجْرِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَتْ يَدِي تَطِيشُ فِي الصَّحْفَةِ فَقَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: يَا غُلَامُ، سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ

“Saat saya masih kecil dalam asuhan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, saya menggerak-gerakkan tangan di dalam nampan (yang ada makanannya). Lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatiku, ‘Wahai ananda, sebutlah nama Allah (yaitu bacalah Bismillah saat hendak makan). Makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari makanan yang ada di sisi dekatmu’.” (HR. Al-Bukhari no. 5376)

  • - Tidak memanggil atau menyeru anak dengan sebutan yang jelek. Seperti perkataan: “Dasar bodoh!” Ini berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ بِخَيْرٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ

“Janganlah kalian menyeru (berdoa) atas diri kalian kecuali dengan sesuatu yang baik. Karena, sesungguhnya malaikat akan mengaminkan atas apa yang kalian ucapkan.” (HR. Muslim no. 920)

- Perbanyak ucapan-ucapan yang mengandung muatan doa pada saat di hadapan anak. Seperti ucapan:

بَارَكَ اللهُ فِيْكُمْ

“Semoga Allah memberkahi kalian.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا

“Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (Al-Baqarah: 83)

Juga selalu mendoakan kebaikan bagi sang anak, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Dan orang-orang yang berkata: ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa’.” (Al-Furqan: 74)

  • - Berusahalah untuk senantiasa berlaku hikmah dalam menghadapi masalah anak. Tidak mengedepankan emosi. Tidak mudah menjatuhkan sanksi. Telusuri setiap masalah yang ada pada anak dengan penuh hikmah, tabayyun (klarifikasi). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا

“Dan barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak.” (Al-Baqarah: 269)

- Berusahalah bersikap adil terhadap anak-anak dan berbuat baik kepadanya.

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90)

  • - Hindari sikap-sikap dan tindakan yang menjadikan anak mengalami trauma, blocking (mogok), malas atau enggan belajar. Sebaliknya, ciptakan suasana yang menyenangkan dalam belajar. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا، بَشِّرُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا

“Permudah dan jangan kalian persulit. Gembirakan, dan jangan kalian membuat (mereka) lari.” (HR. Al-Bukhari no. 69)

Wallahu a’lam.

(Sumber: www.asysyariah.com)

Ibarat Mengukir di Atas Batu


Usia kanak-kanak adalah masa keemasan dalam kehidupan seseorang. Segala yang dipelajari dan dialami pada masa ini –dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala– akan membekas kelak di masa dewasa.

Tak heran bila di kalangan pendahulu kita yang shalih banyak kita dapati tokoh-tokoh besar yang kokoh ilmunya, bahkan dalam usia mereka yang masih relatif muda. Dari kalangan sahabat, ada ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhum, dan banyak lagi. Kalangan setelah mereka, ada Sufyan Ats-Tsauri, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i, dan Al-Imam An-Nawawi rahimahumullah.

Begitulah memang. Dari sejarah kehidupan mereka kita bisa melihat, mereka telah sibuk dengan ilmu dan adab semenjak usia kanak-kanak. Jadilah –dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala– apa yang mereka pelajari tertanam dalam diri dan memberikan pengaruh terhadap pribadi.

Demikian yang diungkapkan oleh ‘Alqamah rahimahullahu:

مَا حَفِظْتُ وَأَنَا شَابٌّ فَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ فِي قِرْطَاسٍ أَوْ وَرَقَةٍ

“Segala sesuatu yang kuhafal ketika aku masih belia, maka sekarang seakan-akan aku melihatnya di atas kertas atau lembaran catatan.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/304)

Bahkan ayah ibu mereka berperan dalam mengarahkan dan membiasakan anak-anak untuk menyibukkan diri dengan ilmu agama sejak dini dan menghasung mereka untuk mempelajari adab.

Muhammad bin Sirin rahimahullahu mengatakan:

كَانُوا يَقُوْلُوْنَ: أَكْرِمْ وَلَدَكَ وَأَحْسِنْ أَدَبَهُ

“(Para pendahulu kita) mengatakan: ‘Muliakanlah anakmu dan perbaikilah adabnya!’.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/308)

Senada dengan ini, Ibnul Anbari rahimahullahu mengatakan pula:

مَنْ أَدَّبَ ابْنَهُ صَغِيْرًا قَرَّتْ عَيْنُهُ كَبِيْرًا

“Barangsiapa mengajari anaknya adab semasa kecil, maka akan menyejukkan pandangannya ketika si anak telah dewasa.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/306)

Dari kalangan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu contohnya. Beliau selalu menyertakan putranya, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma di majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara orang-orang yang duduk di sana adalah orang-orang dewasa. Bahkan betapa inginnya ‘Umar agar putranya menjadi seorang yang terkemuka di antara para sahabat yang hadir di situ dari sisi ilmu. ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menceritakan:

كُنَّا عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: أَخْبِرْنِي بِشَجَرَةٍ تُشْبِهُ أَوْ كَالرَّجُلِ الْمُسْلِمِ لاَ يَتَحَاتُّ وَرَقُهَا وَلاَ وَلاَ وَلاَ، تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ. قَالَ ابْنُ عُمَرَ: فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ وَرَأَيْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ لاَ يَتَكَلَّمَانِ، فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ. فَلَمَّا لَمْ يَقُوْلُوْا شَيْئًا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: هِيَ النَّخْلَةُ. فَلَمَّا قُمْنَا قُلْتُ لِعُمَرَ: يَا أَبَتَاه، وَاللهِ لَقَدْ كَانَ وَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ. فَقَالَ: مَا مَنَعَكَ أَنْ تَكَلَّمَ؟ قَالَ: لَمْ أَرَكُمْ تَكَلَّمُوْنَ فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ أَوْ أَقُوْلَ شَيْئًا. قَالَ عُمَرَ: لَأَنْ تَكُوْنَ قُلْتَهَا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كَذَا وَكَذَا.

“Dulu kami pernah duduk di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bertanya pada kami, ‘Beritahukan kepadaku tentang sebatang pohon yang menyerupai atau seperti seorang muslim, tidak pernah gugur daunnya, tidak demikian dan demikian, selalu berbuah sepanjang waktu.’ Waktu itu terbetik dalam benakku bahwa pohon itu adalah pohon kurma, tapi kulihat Abu Bakr dan ‘Umar tidak menjawab apa pun sehingga aku pun merasa segan untuk menjawabnya. Tatkala para sahabat tidak juga mengatakan apa pun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itu pohon kurma.” Ketika kami bubar, kukatakan kepada (ayahku) ‘Umar, “Wahai Ayah, sebetulnya tadi terlintas di benakku bahwa itu pohon kurma.”“Lalu apa yang membuatmu tidak menjawab?” tanya ayahku. “Aku melihat anda semua tidak berbicara, hingga aku merasa segan pula untuk menjawab atau mengatakan sesuatu,” jawab Ibnu ‘Umar. ‘Umar pun berkata, “Sungguh, kalau tadi engkau menjawab, itu lebih kusukai daripada aku memiliki ini dan itu!” (HR. Al-Bukhari no. 4698)

Lihat pula Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha yang menghasung putranya, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu untuk selalu melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di usia kanak-kanaknya. Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha mengantarkan anaknya memperoleh faedah besar berupa ilmu dan pendidikan dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah ketika aku berumur delapan tahun. Maka ibuku pun menggandengku dan membawaku menghadap beliau. Ibuku mengatakan pada beliau, “Wahai Rasulullah, tak seorang pun yang tersisa dari kalangan orang-orang Anshar, baik laki-laki maupun perempuan, kecuali telah memberikan sesuatu padamu. Sementara aku tidak mampu memberikan apa-apa kepadamu, kecuali putraku ini. Ambillah agar dia bisa membantu melayani keperluanmu.” Maka aku pun melayani beliau selama sepuluh tahun. Tak pernah beliau memukulku, tak pernah mencelaku maupun bermuka masam kepadaku.” (Siyar A’lamin Nubala’, 3/398)

Begitu pula ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sepupu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baru belasan tahun umurnya ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, sementara sebelum itu dia banyak mengambil faedah ilmu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mendapatkan doa beliau. ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengungkapkan, bagaimana inginnya dia mendapatkan ilmu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

رَقَدْتُ فِي بَيْتِ مَيْمُوْنَةَ لَيْلَةَ كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عِنْدَهَا لِأَنْظُرَ كَيْفَ صَلاَةَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِاللَّيْلِ

“Aku pernah tidur di rumah Maimunah1 pada malam ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermalam di sana untuk melihat bagaimana shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di waktu malam.” (HR. Al-Bukhari no. 698 dan Muslim no. 763)

Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, semangat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma untuk mencari ilmu tidaklah surut. Didatanginya para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada pada saat itu untuk mendengarkan hadits dari mereka. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menceritakan tentang hal ini:

“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan waktu itu aku masih belia, aku berkata kepada salah seorang pemuda dari kalangan Anshar, ‘Wahai Fulan, mari kita bertanya pada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan belajar dari mereka, mumpung mereka sekarang masih banyak!’ Dia menjawab, ‘Mengherankan sekali kau ini, wahai Ibnu ‘Abbas! Apa kau anggap orang-orang butuh kepadamu sementara di dunia ini ada tokoh-tokoh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang kaulihat?’ Aku pun meninggalkannya. Aku pun mulai bertanya dan menemui para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu ketika, aku mendatangi seorang sahabat untuk bertanya tentang suatu hadits yang kudengar bahwa dia mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata dia sedang tidur siang. Aku pun rebahan berbantalkan selendangku di depan pintunya, dalam keadaan angin menerbangkan debu ke wajahku. Begitu keadaanku sampai dia keluar. ‘Wahai putra paman Rasulullah, kenapa engkau ini?’ tanyanya ketika dia keluar. ‘Aku ingin mendapatkan hadits yang kudengar engkau menyampaikan hadits itu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku ingin mendengar hadits itu darimu,’ jawabku. ‘Mengapa tidak kau utus saja seseorang kepadaku agar nantinya aku yang mendatangimu?’ katanya. ‘Aku lebih berhak untuk datang kepadamu,’ jawabku. Setelah itu, ketika para sahabat telah banyak yang meninggal, orang tadi (dari kalangan Anshar tersebut, red.) melihatku dalam keadaan orang-orang membutuhkanku. Dia pun berkata padaku, ‘Engkau memang lebih berakal daripadaku’.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/310)

Dari kalangan setelah tabi’in, kita kenal Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu. Salah satu hal yang mendorong Sufyan Ats-Tsauri sibuk menuntut ilmu sejak usia dini adalah hasungan, dorongan, dan arahan ibunya agar Sufyan mengambil faedah dari para ulama, baik berupa ilmu maupun faedah yang didapatkan dengan duduk bersama mereka, hingga ilmu yang diperolehnya akan memiliki pengaruh terhadap akhlak, adab, dan muamalahnya terhadap orang lain.

Ketika menyuruh putranya untuk hadir di halaqah-halaqah ilmu maupun majelis-majelis para ulama, ibunda Sufyan Ats-Tsauri berpesan, “Wahai anakku, ini ada uang sepuluh dirham. Ambillah dan pelajarilah sepuluh hadits! Apabila kaudapati hadits itu dapat merubah cara dudukmu, perilakumu, dan ucapanmu terhadap orang lain, ambillah. Aku akan membantumu dengan alat tenunku ini! Tapi jika tidak, maka tinggalkan, karena aku takut nanti hanya akan menjadi musibah bagimu di hari kiamat!” (Waratsatul Anbiya’, hal.36-37)

Begitu pula ibu Al-Imam Malik rahimahullahu, dia memerhatikan keadaan putranya saat hendak pergi belajar. Al-Imam Malik mengisahkan:

“Aku berkata kepada ibuku, ‘Aku akan pergi untuk belajar.’ ‘Kemarilah!’ kata ibuku, ‘Pakailah pakaian ilmu!’ Lalu ibuku memakaikan aku mismarah (suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku, kemudian memakaikan sorban di atas peci itu. Setelah itu dia berpesan, ‘Sekarang, pergilah untuk belajar!’ Dia juga pernah mengatakan, ‘Pergilah kepada Rabi’ah2! Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!’ (Waratsatul Anbiya’, hal. 39)

Biarpun dalam keadaan kekurangan, mestinya keadaan itu tidak menyurutkan keinginan orangtua untuk memberikan yang terbaik bagi sang anak. Lihat bagaimana ibu Al-Imam Asy-Syafi’i berusaha agar putranya mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang baik.

Diceritakan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu: “Aku adalah seorang yatim yang diasuh sendiri oleh ibuku. Suatu ketika, ibuku menyerahkanku ke kuttab3, namun dia tidak memiliki sesuatu pun yang bisa dia berikan kepada pengajarku. Waktu itu, pengajarku membolehkan aku menempati tempatnya tatkala dia berdiri. Ketika aku telah mengkhatamkan Al-Qur’an, aku mulai masuk masjid. Di sana aku duduk di hadapan para ulama. Bila aku mendengar suatu permasalahan atau hadits yang disampaikan, maka aku pun menghafalnya. Aku tak bisa menulisnya, karena ibuku tak memiliki harta yang bisa dia berikan kepadaku untuk kubelikan kertas. Aku pun biasa mencari tulang-belulang, tembikar, tulang punuk unta, atau pelepah pohon kurma, lalu kutulis hadits di situ. Bila telah penuh, kusimpan dalam tempayan (guci) yang ada di rumah kami. Karena banyaknya tempayan terkumpul, ibuku berkata, ‘Tempayan-tempayan ini membuat sempit rumah kita.’ Maka kuambil tempayan-tempayan itu dan kuhafalkan apa yang tertulis di dalamnya, lalu aku membuangnya. Sampai kemudian Allah memberiku kemudahan untuk berangkat menuntut ilmu ke negeri Yaman.” (Waratsatul Anbiya’, hal. 36)

Namun betapa mirisnya hati kita bila melihat anak-anak kaum muslimin sekarang ini. Dalam usia yang sama dengan para tokoh ini tadi, mereka tidak mempelajari ilmu agama ataupun memperbaiki adabnya. Akankah kita biarkan ini terus berlangsung?

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Bintu ‘Imran


1 Maimunah, istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah bibi Ibnu ‘Abbas, karena Maimunah adalah saudari Ummul Fadhl, ibu Ibnu ‘Abbas.

2 Al-Imam Rabi’ah rahimahullahu adalah guru Al-Imam Malik rahimahullahu.

3 Kuttab adalah tempat anak-anak kecil belajar baca-tulis Al-Qur’an, semacam TPA/Q di Indonesia