Minggu, 20 Desember 2009

Bijak Mendidik Buah Hati

Buah hati adalah amanah ilahi yang amat berharga, dia bukan hanya sebagai penyejuk pandangan mata dan hati bagi orang tuanya namun lebih dari itu dia adalah investasi terbesar dunia terlebih akhirat. Bagaimana sang buah hati dapat menjadi aset berharga sekaligus penyejuk jiwa? tentu kita sebagai orang tua harus bijak dalam mendidiknya, tidak berlemah-lemah namun juga tidak berlebihan dalam memberi kasih sayang serta pengajaran. Harus pada porsi yang pas.

Mari belajar bagaimana menjadi orang tua bijak…

  • Pahami anak sebagai individu yang berbeda. Seorang anak dengan yang lainnya memiliki karakter yang berbeda. Memiliki bakat dan minat yang berbeda pula. Karenanya, dalam menyerap ilmu dan mengamalkannya berbeda satu dengan yang lainnya. Sering terjadi kasus, terutama pada pasangan muda, orangtua mengalami “sindroma” anak pertama. Karena didorong idealisme yang tinggi, mereka memperlakukan anak tanpa memerhatikan aspek-aspek perkembangan dan pertumbuhan anak. Misal, anak dipompa untuk bisa menulis dan membaca pada usia 2 tahun, tanpa memerhatikan tingkat kemampuan dan motorik halus (kemampuan mengoordinasikan gerakan tangan) anak. َاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (At-Taghabun: 16)

Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Apabila aku melarangmu dari sesuatu maka jauhi dia. Bila aku perintahkan kamu suatu perkara maka tunaikanlah semampumu.” (HR. Al-Bukhari, no. 7288)

Kata مَا اسْتَطَعْتُمْ (semampumu) menunjukkan kemampuan dan kesanggupan seseorang berbeda-beda, bertingkat-tingkat, satu dengan lainnya tidak bisa disamakan. Ini semua karena pengaruh berbagai macam latar belakang.

Nb. Sering kali orang tua senang membanding bandingkan anaknya dengan anak orang lain kadang dengan tujuan mengetahui apakah perkembangan anaknya termasuk lambat atau cepat, hal ini sebenarnya tidak terlalu bagus juga karena bila anak kita ternyata kurang maka hati kita timbul rasa sedih, merasa gagal atau dampak ke anak jadi lebih menuntut anak diluar kemampuannya, dan bila ternyata anak kita lebih dari anak lain maka kadang timbul ujub atau meremehkan orang lain. Lalu bagaimana sebaiknya mengetahui perkembangan anak? merujuklah pada buku2 perkembangan anak yang ditulis oleh ahlinya lebih bagus jika dapat merujuk yang sesuai manhaj yang shohih, jadi kita bandingkan saja dengan standar yang sudah ada, bukan dengan anak orang lain. Percayalah ‘ each baby is unic’ Buah hati kita punya pola tumbuh kembang sendiri.

  • Memberi tugas hendaklah sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak.

لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)

Nb. Contohnya karena terobsesi dengan buku “the Amazing Child” dimana si Tabba taba’i dapat menghafal Qur’an pada usia dibawah 5 tahun lengkap dengan tafsirnya maka anak kita lantas kita paksa hafalan seharian dilarang main padahal usianya terlalu dini, jelas ini tidak proporsional. Kenali kemampuan anak dan tentu ibu yang baik faham benar bakat anaknya

  • Berusahalah untuk selalu menghargai niat, usaha dan kesungguhan anak. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa dan harta kalian, tapi Allah melihat kepada hati (niat) dan amal-amal kalian.” (HR. Muslim no. 2564)

  • Jangan mencaci maki anak karena kegagalannya. Tapi berikan ungkapan-ungkapan yang bisa memotivasi anak untuk bangkit dari kegagalannya. Misal, “Abi tidak marah kok, Ahmad belum hafal surat Yasin. Abi tahu, Ahmad sudah berusaha menghafal. Lain kali, kita coba lagi ya.”
  • Tidak membentak, memaki dan merendahkan anak. Apalagi di hadapan teman-temannya atau di hadapan umum. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا

“Dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (An-Nisa`: 5)

  • Tidak membuka aib (kekurangan, kejelekan) yang ada pada anak di hadapan orang lain. Dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa menutup (aib) seorang muslim, Allah akan menutup (aib) dirinya pada hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari no. 2442)

  • Jika anak melakukan kesalahan, jangan hanya menunjukkan kesalahannya semata. Tapi berilah solusi dengan memberitahu perbuatan yang benar yang seharusnya dia lakukan. Tentunya, dengan cara yang hikmah. ‘Umar bin Abi Salamah radhiyallahu ‘anhu berkata:

كُنْتُ غُلَامًا فِي حِجْرِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَتْ يَدِي تَطِيشُ فِي الصَّحْفَةِ فَقَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: يَا غُلَامُ، سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ

“Saat saya masih kecil dalam asuhan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, saya menggerak-gerakkan tangan di dalam nampan (yang ada makanannya). Lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatiku, ‘Wahai ananda, sebutlah nama Allah (yaitu bacalah Bismillah saat hendak makan). Makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari makanan yang ada di sisi dekatmu’.” (HR. Al-Bukhari no. 5376)

  • Tidak memanggil atau menyeru anak dengan sebutan yang jelek. Seperti perkataan: “Dasar bodoh!” Ini berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ بِخَيْرٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ

“Janganlah kalian menyeru (berdoa) atas diri kalian kecuali dengan sesuatu yang baik. Karena, sesungguhnya malaikat akan mengaminkan atas apa yang kalian ucapkan.” (HR. Muslim no. 920)

  • Perbanyak ucapan-ucapan yang mengandung muatan doa pada saat di hadapan anak. Seperti ucapan:

بَارَكَ اللهُ فِيْكُمْ

“Semoga Allah memberkahi kalian.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا

“Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (Al-Baqarah: 83)

Nb. Sering seringlah memanggil anak dengan sebutan misal “anak sholih, sudah makan belum?” “anak pintar ,ayo baca doa mau tidur dulu” karena ini juga adalah doa -semoga di aminkan oleh malaikat- dan juga sebagai pembentuk citra diri pada anak. Dalam memori otaknya akan tertancap kuat oo.. aku ini anak sholih, anak pintar dst. Kelak ketika dia tlah faham apa itu anak sholih insyaAlloh dia akan memfigurkan diri sebagaimana memori otaknya.-berdasar teori psikologi perkembangan-

  • Juga selalu mendoakan kebaikan bagi sang anak, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Dan orang-orang yang berkata: ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa’.” (Al-Furqan: 74)

  • Berusahalah untuk senantiasa berlaku hikmah dalam menghadapi masalah anak. Tidak mengedepankan emosi. Tidak mudah menjatuhkan sanksi. Telusuri setiap masalah yang ada pada anak dengan penuh hikmah, tabayyun (klarifikasi). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا

“Dan barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak.” (Al-Baqarah: 269)

  • Berusahalah bersikap adil terhadap anak-anak dan berbuat baik kepadanya.

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90)

  • Hindari sikap-sikap dan tindakan yang menjadikan anak mengalami trauma, blocking (mogok), malas atau enggan belajar. Sebaliknya, ciptakan suasana yang menyenangkan dalam belajar. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا، بَشِّرُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا

“Permudah dan jangan kalian persulit. Gembirakan, dan jangan kalian membuat (mereka) lari.” (HR. Al-Bukhari no. 69)

Wallahu a’lam.

Oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin

-link-

-Nb.- adalah tambahan dari ummu Raihan (http://roihan.wordpress.com/2009/02/01/397/)

Bila Si Kecil Banyak Bertanya

Pet! Listrik tiba-tiba padam, malam itu. Dengan sigap, abi segera menyalakan lampu minyak. Si 3th mengamati lampu minyak itu dengan penuh rasa ingin tahu. Tak lama kemudian, muncullah beberapa pertanyaan dari bibir mungilnya.

“Itu apa Bi?” “Itu lampu minyak, Sayang.” “Kok pakai lampu minyak kenapa Bi?” “Karena listrik mati.” “Listriknya kok mati kenapa toh Bi?” “Ya…mungkin karena tadi ada hujan deras.” “Kok tadi ada hujan deras kenapa Bi?” “Tadi di langit kan ada awan hitam, awan itu sekumpulan air, kalau turun jadi hujan.” Bla…bla…bla….Demikianlah pertanyaan si kecil bagai tak ada habisnya. Abinya pun dengan sabar menjawab pertanyaan putri sulungnya.

Rasa Ingin Tahu, Jangan Dimatikan

Anak-anak berusia 2-5 tahun memang seringkali mengajukan banyak pertanyaan kepada orangtua atau pengasuhnya. Pertanyaan mereka biasanya tidak jauh dari apa yang mereka temui, amati atau rasakan. Yang mendorong mereka mengajukan pertanyaan adalah besarnya rasa ingin tahu mereka terhadap segala sesuatu.

Sebenarnya, kita semua memiliki bekal rasa ingin tahu ini semenjak lahir. Kehebatan rasa ingin tahu inilah yang membuat bayi bisa merangkak, berjalan, dan bicara. Selanjutnya, rasa ingin tahu ini akan menentukan kualitas perkembangan otak mereka. Sayangnya, orangtua banyak melakukan intervensi negatif sehingga naluri penting ini terkubur dalam-dalam

Seringkali orangtua tak mau menjawab pertanyaan anak-anaknya yang menurut mereka terdengar konyol, lugu, dan seperti dibuat-buat. Seakan tak ada gunanya kalaupun orangtua mau repot-repot menjawabnya. Hal ini menjadikan anak belajar untuk mematikan rasa ingin tahunya. Setelah pertanyaan-pertanyaannya tak pernah dijawab, anak pun jadi malas untuk bertanya lagi, dan jadi tak peduli pada segala sesuatu yang ada di sekelilingnya. Tindakan orangtua yang mematikan rasa ingin tahu anak itu sungguh tidak mendidik dan berpengaruh buruk terhadap perkembangan otak anak.

Sebagian kecil orangtua memang ada yang sangat mendukung perkembangan intelektual anaknya. Mereka bukan hanya menjawab pertanyaan anak, tetapi juga berusaha melakukan sesuatu untuk semakin menumbuhkan rasa ingin tahu sang anak. Mereka mendorong anak untuk bertanya dan terus bertanya, hingga anak sendiri yang kehabisan pertanyaan. Untuk itu, para orangtua ini menyediakan waktu sebanyak mungkin, karena mereka tahu, sepatah kata jawaban bisa menjadi sangat berarti bagi perkembangan sel saraf otak anak.

Perlu Kesabaran

Orangtua yang tidak sabaran, mungkin cuma diam atau menjawab ‘tidak tahu’ saat ditanya sang anak. Kadang, pertanyaan anak malah dijawab dengan bentakan, “Sudah diam! Jangan tanya-tanya terus. Ibu capek.”

Memang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan anak itu diperlukan kesabaran, di samping perhatian dan kepandaian dalam menjawab. Seorang ibu yang sudah disibukkan dengan berbagai pekerjaan rumah, mungkin akan lelah menghadapi seribu satu macam pertanyaan anaknya. Demikian juga dengan sang ayah yang sudah bekerja seharian mencari nafkah. Rasa lelah itu bisa menghilangkan mood untuk sekadar menjawab sang anak.

Bukankah jika kita menyatakan siap punya anak, secara otomatis kita juga harus siap ‘direpoti’? Adalah salah besar jika hanya karena alasan sibuk atau capek, lalu orangtua mematikan rasa ingin tahu sang anak. Sebisa mungkin, walau sedang sibuk bekerja, kita tetap berusaha memberi perhatian pada anak. Sambil memasak, seorang ibu bisa menjawab pertanyaan anak. Sambil membersihkan rumah pun bisa terus mengobrol dengan mereka.

Sekali lagi, dalam hal ini memang dibutuhkan kesabaran tinggi. Dalam menjawab pun kita harus menunjukkan perhatian, yang bisa ditampakkan lewat mimik muka dan cara menjawab dengan nada bersungguh-sungguh.

Jawablah dengan Benar

Orangtua tak perlu memberikan jawaban panjang atau berbelit-belit, sehingga malah sulit dimengerti anak. Cukuplah menjawab pertanyaan anak dengan jawaban pendek dengan bahasa yang disesuaikan dengan pemahaman anak. Jangan pernah menjawab pertanyaan anak dengan sembarangan. Jika menjawab, jawablah dengan benar. Jika orang tua tidak tahu jawaban yang benar, tak usah mencoba berbohong. Lebih baik katakan tidak tahu, dan cobalah menerangkan di lain waktu bila jawabannya sudah didapat. Sebagaimana contoh kasus di awal tulisan ini, Abu Asma’ berusaha menjawab pertanyaan putrinya dengan jawaban-jawaban pendek yang mudah dipahami.

Beruntunglah anak bila orangtuanya selalu berusaha menjawab pertanyaannya dengan benar. Selain bisa memuaskan hatinya, jawaban itu juga akan menambah pengetahuan dan wawasannya. Sayangnya, tak sedikit orangtua yang suka memberikan jawaban tidak benar pada anak. Misalnya saat Hasan (5) bertanya pada ibunya tentang gempa yang menyebabkan genting-genting di rumahnya melorot ke bawah. “Kok terjadi gempa kenapa Bu?” “Karena ada raksasa besar yang mengamuk di dalam laut, jadi bumi bergoncang.” Mungkin jawaban tersebut bisa diterima oleh daya imajinasinya, akan tetapi jawaban itu tidak menambah perbendaharaan pengetahuannya. Jawaban semacam ini sangat tidak bermanfaat, dan harus dijauhi oleh para orangtua. Seharusnya pertanyaan Hasan bisa dijawab, “Gempa itu penyebabnya bisa bermacam-macam. Salah satunya karena ada gunung meletus di daratan atau lautan, jadi bumi bergoncang.” Jika Hasan masih penasaran dengan sebab-sebab gempa lainnya, ibu bisa mencarikan referensi, misalnya buku atau majalah yang membahas tentang gempa, untuk dibacakan atau dibaca sendiri oleh Hasan.

Kemampuan Otak Balita

Mungkin kita mengira, anak-anak balita itu selain lugu juga tak tahu apa-apa tentang alam semesta kehidupannya. Tapi adalah kesalahan besar jika kita menganggap mereka bodoh, karena mereka mempunyai daya tangkap dan daya ingat yang jauh lebih hebat dari yang kita pikirkan. Dari sekian banyak pertanyaannya yang dia ajukan dalam sehari, pasti ada yang masuk dan direkam baik-baik dalam otaknya. Ya, balita memang memiliki kemampuan menangkap pengetahuan dengan hebat, karena otak mereka belum dipengaruhi untuk memikirkan hal-hal lain.

Sebuah pertanyaan saja, bagi anak ibarat mempelajari sebuah bab pelajaran di sekolah sebagaimana yang dipelajari kakak-kakaknya. Maka jawabannya akan sangat berarti untuk mengasah ketajaman otaknya.

Yang perlu dikhawatirkan justru kalau anak terlalu pendiam, dan tidak ingin tahu banyak tentang segala sesuatu. Ia tidak pernah bertanya, dan tidak tertarik dengan adanya benda baru. Anak seperti ini harus ‘dipancing’ untuk membangkitkan rasa ingin tahunya. Orangtua bisa memulai dengan mengajukan pertanyaan, “Azmi, mengapa kalau siang tampak terang dan malam tampak gelap?” Atau, “Kamu dan ayam sama-sama punya kaki. Mengapa kamu bisa menendang bola, ayam tidak?” Dengan pertanyaan menarik diharapkan anak akan terangsang, kemudian menanyakan segala sesuatu. Makin sering orangtua memancing dengan berbagai pertanyaan menarik, tentu anak akan meniru tindakan orangtua.

Untuk mengembangkan kemampuan anak bertanya, bimbinglah anak untuk mempraktikkan kunci utama pertanyaan, yaitu 5W+1H. Yang dimaksud 5W+1H adalah what (apa), when (kapan), where (di mana), who (siapa), why (mengapa) dan how (bagaimana)

Selain itu orang tua juga bisa menyediakan buku bacaan atau majalah islami untuk anak-anak. Melihat gambar-gambarnya yang menarik dan berwarna-warni, bisanya anak-anak akan tertarik untuk mempertanyakan apa yang ia lihat. Jika anak tetap belum banyak bertanya seperti yang kita harapkan, maka orangtua yang harus aktif menyakan segala sesuatu tentang gambar-gambar atau kisah di buku tersebut. Yang mesti disadari, proses ini membutuhkan waktu dan memerlukan kesabaran. Semoga kita memiliki putra-putri yang shalih dan pintar.

Maraji’:
Mendidik dengan Cinta, Irawati Istadi. Pustaka Inti.

Etiket umum pendidikan anak muslim


Anak dilahirkan ke dunia sebagaimana layaknya kertas putih bersih. lalu kita sebagai orang tuanyalah yang akan melukis di atas kertas tersebut. Dari Abu Hurairah,bahwa Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam bersabda yang artinya:
“Setiap anak yang dilahirkan itu telah membawa fitrah beragama (perasaan percaya kepada Allah); maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan anak tersebut, yahudi, nasrani, majusi, atau dia masuk ke dalam Islam”.(hadits riwayat Imam Al Bukhari)

Dari sinilah mengapa kita harus mengilmui apa apa dan bagaimana pendidikan yang harus kita terapkan untuk buah hati kita. Salah dalam menddik akan fatal akibatnya, karena tidak hanya dampak di dunia yang akan dirasa namun lebih kepada pertanggung jawaban kita kelak diakhirat.

Berikut adalah beberapa point mengenai etiket yang dapat kita ajarkan untuk buah hati agar menjadi insan yang sholih lagi mushlih, berhias adab dan akhlaq islami.

ü Dibiasakan mengambil, memberi, makan dan minum dengan tangan kanan. Jika makan dengan tangan kiri, diperingatkan dan dipindahkan makanannya ke tangan kanannya secara halus.

ü Dibiasakan mendahulukan bagian kanan dalam berpakaian. Ketika mengenakan kain, baju, atau lainnya memulai dari kanan; dan ketika melepas pakaiannya memulai dari kiri.

ü Dilarang tidur tertelungkup dan dibiasakan ·tidur dengan miring ke kanan.

ü Dihindarkan tidak memakai pakaian atau celana yang pendek, agar anak tumbuh dengan kesadaran menutup aurat dan malu membukanya.

ü Dicegah menghisap jari dan menggigit kukunya.

ü Dibiasakan sederhana dalam makan dan minum, dan dijauhkan dari sikap rakus.

ü Dilarang bermain dengan hidungnya.

ü Dibiasakan membaca Bismillah ketika hendak makan.

ü Dibiasakan untuk mengambil makanan yang terdekat dan tidak memulai makan sebelum orang lain.

ü Tidak memandang dengan tajam kepada makanan maupun kepada orang yang makan.

ü Dibiasakan tidak makan dengan tergesa-gesa dan supaya mengunyah makanan dengan baik.

ü Dibiasakan memakan makanan yang ada dan tidak mengingini yang tidak ada.

ü Dibiasakan kebersihan mulut dengan menggunakan siwak atau sikat gigi setelah makan, sebelum tidur, dan sehabis bangun tidur.

ü Dididik untuk mendahulukan orang lain dalam makanan atau permainan yang disenangi, dengan dibiasakan agar menghormati saudara-saudaranya, sanak familinya yang masih kecil, dan anak-anak tetangga jika mereka melihatnya sedang menikmati sesuatu makanan atau permainan.

ü Dibiasakan mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengulanginya berkali-kali setiap hari.

ü Dibiasakan membaca “Alhamdulillah” jika bersin, dan mengatakan “Yarhamukallah” kepada orang yang bersin jika membaca “Alhamdulillah”.

ü Supaya menahan mulut dan menutupnya jika menguap, dan jangan sampai bersuara.

ü Dibiasakan berterima kasih jika mendapat suatu kebaikan, sekalipun hanya sedikit.

ü Tidak memanggil ibu dan bapak dengan namanya, tetapi dibiasakan memanggil dengan kata-kata: Ummi (Ibu), dan Abi (Bapak).

ü Ketika berjalan jangan mendahului kedua orangtua atau siapa yang lebih tua darinya, dan tidak memasuki tempat lebih dahulu dari keduanya untuk menghormati mereka.

ü Dibiasakan bejalan kaki pada trotoar, bukan di tengah jalan.

ü Tidak membuang sampah dijalanan, bahkan menjauhkan kotoran darinya.

ü Mengucapkan salam dengan sopan kepada orang yang dijumpainya dengan mengatakan “Assalamu ‘Alaikum” serta membalas salam orang yang mengucapkannya.

ü Diajari kata-kata yang benar dan dibiasakan dengan bahasa yang baik.

ü Dibiasakan menuruti perintah orangtua atau siapa saja yang lebih besar darinya, jika disuruh sesuatu yang diperbolehkan.

ü Bila membantah diperingatkan supaya kembali kepada kebenaran dengan suka rela, jika memungkinkan. Tapi kalau tidak, dipaksa untuk menerima kebenaran, karena hal ini lebih baik daripada tetap membantah dan membandel.

ü Hendaknya kedua orangtua mengucapkan terima kasih kepada anak jika menuruti perintah dan menjauhi larangan. Bisa juga sekali-kali memberikan hadiah yang disenangi berupa makanan, mainan atau diajak jalan-jalan.

ü Tidak dilarang bermain selama masih aman, seperti bermain dengan pasir dan permainan yang diperbolehkan, sekalipun menyebabkan bajunya kotor. Karena permainan pada periode ini penting sekali untuk pembentukan jasmani dan akal anak.

ü Ditanamkan kepada anak agar senang pada alat permainan yang dibolehkan seperti bola, mobil-mobilan, miniatur pesawat terbang, dan lain-lainnya. Dan ditanamkan kepadanya agar membenci alat permainan yang mempunyai bentuk terlarang seperti manusia dan hewan.

ü Dibiasakan menghormati milik orang lain, dengan tidak mengambil permainan ataupun makanan orang lain, sekalipun permainan atau makanan saudaranya sendiri.

(Silahkan lihat Ahmad Iuuddin Al Bayanuni,MinhajAt TarbiyahAsh Shalihah.)

Si kecil hobi jajan

Belum habis es krim dimakan sudah minta beli bakso, padahal belum tentu dimakan. Mainan mobil mobilan baru kemarin dbeli sudah bosan dan minta beli yang lain lagi, bukannya pelit tapi kan boros sekali jika dituruti terus.. padahal isalm membenci sikap boros.
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Al-Isra’: 26-27)


Mengapa Anak Suka Boros?
Konsep boros harus dibatasi secara kasus per kasus sesuai dengan kondisi keuangan keluarga masing-masing. Dengan demikian, boros adalah tindakan membelanjakan uang yang cenderung berlebih-lebihan, menurut tradisi umum yang berlaku dalam masyarakat tertentu, dan di luar batas kemampuan keluarga.
Lalu, mengapa anak suka boros? Setidaknya ada dua faktor yang membuat anak berperilaku boros. Pertama, faktor internal (bawaan), yaitu kecenderungan anak berperilaku boros sejak lahir.
Kedua, faktor eksternal, yaitu dorongan lingkungan keluarga atau pengaruh pergaulan. Maksudnya, jika anak tumbuh dalam lingkungan keluarga yang boros atau bergaul dengan teman yang boros, ia dapat terpengaruh menjadi anak yang boros.


Beberapa Kiat agar Anak Tidak Boros
1. Memberikan contoh kepada anak bagaimana berperilaku hemat.
Ketika orang tua berperilaku boros dan tidak bisa mengatur keuangannya, biasanya anak akan meniru perilaku orang tuanya.

2. Membiasakan anak sarapan pagi sebelum ke sekolah.
Biasakanlah anak sarapan pagi sebelum berangkat ke sekolaah. Dengan keadaan perut yang kenyang, anak akan lebih konsentrasi dalam belajar sehingga tidak memikirkan jajan.

3. Menjelaskan kepada anak bahwa tidak semua jajanan itu sehat.
Dengan pengertian seperti itu, anak diharapkan dapat memperhatikan makanannya dan tidak mengikuti keinginan untuk jajan sembarangan.

4. Menyediakan makanan ringan di rumah.
Sediakan di rumah Anda makanan ringan yang sehat dan bergizi. Tentu tidak harus mahal, misalnya keripik kentang yang bisa dibuat sendiri. Selain itu, jika orang tua bepergian hendaknya tidak meninggalkan uang jajan yang berlebihan di rumah.

5. Melatih anak gemar menabung.
Latihlah anak agar gemar menabung dan hemat dalam berbelanja. Misalnya dengan menyisihkan seratus rupiah dari uang jajan untuk dimasukkan ke dalam celengan.

6. Mengajarkan nilai kerja keras dan empati kepada orang lain.
Berilah pengertian kepada anak bahwa untuk mendapatkan uang, diperlukan kerja keras dan gigih sehingga pemanfaatannya harus sehemat mungkin. Selanjutnya, asahlah kepekaan sosial anak dengan menunjukkan kepada mereka bagaimana orang-orang di sekitarnya hidup dalam keadaan sulit.

7. Mengajarkan bagaimana merawat barang milik sendiri.
Dengan perawatan yang baik, mainan atau barang milik anak dapat terjaga dan tidak mudah rusak, sehingga pembelian untuk barang sejenis dapat ditekan. Mengajari anak untuk menyimpan mainannya sendiri setelah selesai bermain juga harus menjadi perhatian orang tua.